Tayammum secara etimologis adalah bermaksud (Arab,القصد). Dalam pengertian syariah (fiqih) tayammum adalah menyampaikan/meletakkan debu suci pada wajah dan kedua tangan sebagai ganti dari (a) wudhu; (b) mandi junub; (c) membasuh anggota badan, dengan syarat-syarat tertentu.
وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
- Hadits sahih riwayat Muslim: وَجُعِلَتْ تُرْبَتُنَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ
Artinya: Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam ) permukaan bumi sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk besuci (tayammum) jika kami tidak menjumpai air.
Syarat tayammum adalah hal-hal yang harus terpenuhi sebelum dilakukan proses tayammum. Syarat tayammum ada 5 (lima) yaitu:
1. Ada udzur karena perjalanan atau sakit.
2. Masuknya waktu shalat.
3. Mencari air.
4. Tidak dapat memakai air
atau ada air tapi tidak cukup.
5. Debu yang suci dan
halus.
Niat cukup diucapkan dalam hati.
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ ِللهِ تَعَالٰى
Artinya: Saya niat tayammum
untuk mendapat kebolehan shalat karena Allah Ta'ala.
Rukun/fardhu tayammum adalah tata cara yang dilakukan saat pelaksanaan tayammum. Fardhu tayammum ada 4 (empat), yaitu:
1. Niat.
2. Mengusap wajah.
3. Mengusap kedua tangan
sampai siku.
4. Tertib (dalam
pelaksanaan harus urut).
Sunnahnya tayammum ada 3 (tiga) perkara sebagai berikut:
1. Membaca bismillah.
2. Mendahulukan yang kanan
dari yang kiri.
3. Bersegera (dilakukan
dengan cepat tanpa diselingi perbuatan yang lain).
Perkara yang membatalkan tayammum ada 3 (tiga) perkara yaitu:
2. Melihat air di luar
waktu shalat.
3. Murtad atau keluar dari
Islam.
Sedangkan orang yang memakai perban ia boleh mengusap perbannya dengan air, lalu bertayammum dan shalat tanpa harus mengulangi shalatnya apabila saat pertama kali meletakkan perban dalam keadaan suci. Dan bertayammum untuk setiap shalat fardhu.
Jenis debu yang dapat dipakai untuk tayammum adalah sebagai berikut:
1. Debu suci dan belum dipakai untuk tayammum.
1. Debu murni.
2. Debu yang tercampur
pasir
3. Pasir yang mengandung
debu.
1. Debu najis atau debu suci tapi sudah dipakai untuk tayammum (musta'mal).
2. Pasir murni yang tidak
ada debunya.
3. Keramik.
Menurut madzhab Hanafi dan Maliki segala sesuatu yang berasal dari tanah dapat dipakai untuk tayammum berdasarkan penafsiran dari kata "sha'id" dalam QS Al-Maidah 5:6. Pemahaman ini membuat alat tayammum yang dibolehkan bertambah luas sebagai berikut:
1. Debu suci dan belum dipakai untuk tayammum.
2. Debu halus,
3. Pasir
4. Kerikil.
5. Batu halus,
6. Dinding tanah,
7. Keramik yang terbuat
dari tanah murni.
8. Dinding atau wadah yang
terbuat dari tanah.
9. Berbagai macam benda
seperti dinding, kursi, sofa, ranjang yang mengandung debu.
Lebih detail.
Apabila mengikuti pandangan madzhab Hanafi dan Maliki, maka tidak ada kesulitan menemukan debu untuk tayammum. Namun, seandainya debu tidak ditemukan juga, berikut pandangan ulama fiqih apabila tidak ada air untuk wudhu dan debu untuk tayammum:
1. Shalat apa adanya dan mengulangi shalatnya setelah ada air atau debu. Ini pendapat yang sahih menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmuk.
2. Tidak wajib shalat,
hanya disunnahkan. Dan wajib mengulangi/mengqadha shalatnya setelah
menemukan air atau debu. Ini pendapat Imam Ghazali.
3. Haram shalat saat itu
dan wajib mengqadha. Ini pendapat qaul qadim dan Imam Haramain.
4. Wajib shalat dan tidak
wajib mengqadha. Ini pendapat Imam Syafi'i di qaul qadim juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar