Assalamu’alaikum
warhmatullahi wabarakatuh,
Subhanallah…..
Sikapilah Hidup Ini, Allah Maha Pemberi Petunjuk
Memang terkadang ketika kita hendak menyombongkan diri kita kepada Tuhan,
mungkin dengan mencoba menghitung seberapa sering kita berdo’a kepada-Nya,
berfikir kapan kita pernah lalai kepada-Nya dan membicarakan hal-hal ini
keorang-orang disekitar kita (Eh Aku belum sholat nihh,
eh aku udah sholat nih, dan tanpa mengajak kearah kebaikan kepada mereka (hanya
membicarakan saja)) ternyata masih harus kita sadari seberapa benarkah
tindakan kita itu ?, mana dasarnya ? , dan apa yang membuat kamu yakin bahwa
dasar itu adalah yang paling benar untuk semua umat didunia ?.
Yapp mungkin kali ini, aku mau berbagi
ke kalian semua tentang sebuah……. Sebuah apa ya ? ? ? aku juga bingung meh nyebut
ini apa pokoknya coba saksikan bersama aja yuk?
CHECK IT UP……………….
TEKS, DO’A, CARA BACAAN
TAHLIL/TAHLILAN
Sejarah Tahlilan, Hukum Acara Tahlilan hari ke 7, 40, 100 dan 1000, Bid’ah Tahlilan
dalam Islam, Tahlilan menurut Imam Syafi’i.
Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, dan ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.
Kata “Tahlil” sendiri secara harfiah berarti berizikir dengan mengucap kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” (tiada yang patut
disembah kecuali Allah), yang sesungguhnya bukan zikir yang dikhususkan
bagi upacara memperingati kematian seseorang.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang
terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248):
“Aku membenci acara
berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai
dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan
mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:
”Kami
(yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami
para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan
makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.” Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.
Ritual/upacara ini (berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit, berzikir dan membaca
sejumlah ayat Al Qur’an, kemudian mendoakan mayit), menurut berbagai sumber,
bukan merupakan ajaran Islam. Bahkan, berdasarkan hadist, ritual ini
diharamkan, apalagi jika ritual itu dirukunkan pada 1-7 hari, 40 hari, 1000
hari, atau dengan rukun-rukun lainnya.
Ritual/upacara ini oleh beberapa ulama
digolongkan sebagai bid'ah. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahlilan dengan
sedikit tambahan)
TAHLILAN DALAM TIMBANGAN
ISLAM
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an
tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu
wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat
membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan
merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman
masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama,
berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca
beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada
yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah
“Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang
dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari
sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100.
Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si
mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali
acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif,
tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu
hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau
kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang
demikianlah kenyataannya.
Download File Kajian 00 Tahlilan Dalam
Timbangan Islam pdf
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/kendari/Booklet-Al-Ilmu-Edisi-Jumat/00-Tahlilan-Dalam-Timbangan-Islam.pdf
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/kendari/Booklet-Al-Ilmu-Edisi-Jumat/00-Tahlilan-Dalam-Timbangan-Islam.pdf
Entah telah berapa abad lamanya acara
tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman.
Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti
telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih
jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca:
“wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib)
apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali
ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka
tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih
jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah
diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini
telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati
yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan
kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya
dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah
subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah
berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul
(As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang
demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Bacaan Tahlil |
Para pembaca, kalau kita buka catatan
sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi’in maupun
Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam
Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan
ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana
sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari
upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang
mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk
penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang
diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan
secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu
dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan
dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata
Islam
Acara tahlilan paling tidak terfokus
pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa
ayat/ surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu
yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan
makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali
dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal
dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki
argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap
baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil
dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan
untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk
memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1.
Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/ dihadiahkan
kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan
kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah
subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman
(artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ
الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat
mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka)
kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam
telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu
ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Ilustrasi Islami (Petuah)
Suatu ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang,
yang pertama
menyatakan:
“Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”,
yang kedua
menyatakan:
“Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”,
yang terakhir
menyatakan:
“Saya tidak akan menikah”.
Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam menegur mereka, seraya berkata:
“Apa urusan mereka dengan menyatakan
seperti itu?
Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka. saya shalat dan saya
pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka
bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah
Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi
dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam.
Allah subhanahu wata’ala menyatakan
dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al
Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan
shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah
mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata-mata seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak.
Simaklah firman Allah subhanahu
wata’ala (artinya):
“Maukah Kami beritahukan kepada kalian
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits
‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas
petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh
Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah
kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ
البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah
batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan
semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu
teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya
menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan
bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik
lagi pernyataan dari
Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik
suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti
dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam
madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan
kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al
Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit.
Beliau berdalil dengan firman Allah
subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan
makanan.
Gambar Ilustrasi Penjamuan Hidangan kepada orang-orang yang melaksanakan Tahlilan. |
Sehingga acara
berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit
termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana
fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al
Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al
Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas
kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i.
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku
membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun
tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan
memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani
hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar
dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas
didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata:
“Ini adalah lafadz baliau dalam kitab
Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab
Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain
yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama
(bid’ah –pent).
Lalu apakah pantas acara
tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?
Gambar Ilustrasi Tahlilan sebelum Ahli Kubur di semayamkan |
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi
tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya
meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ
أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far,
Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu
Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan.
Wallahu 'alam.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh……………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar